Menguak Dimensi Tasawuf dalam Kehidupan Socrates
Melihat kembali ke belakang, Yunani, abad 6 SM. Terdapat seorang filsuf besar yang menyebarkan ajarannya di Athena. Dia suka bertanya-tanya, menguji, membuat orang-orang merasa kesal, marah, jengkel.
Kebanyakan filsuf meninggalkan tulisan untuk tetap abadi dalam sejarah. Socrates adalah salah satu orang terbesar dalam sejarah yang tidak meninggalkan karya tapi dia tetap abadi. Dia adalah peletak dasar pemikiran Barat, Socrates (470-399 SM).
Jejak pemikiran Socrates hanya dapat ditelusuri dalam karya-karya muridnya, seperti Platon. Kemudian yang tidak kalah menarik adalah, Socrates telah memantik perdebatan di kalangan terbatas, kalangan pemerhati filsafat, kalangan teolog, “apakah Socrates ateis karena pencariannya kepada kebijaksanaan (pengetahuan) atau seorang monoteis (filsafatnya sangat kental dengan nuansa religius) dan menentang politeis tradisional Yunani Kuno ?” dan juga perdebatan “apakah Socrates seorang nabi?”.
Ini tidak terlepas dari pemikiran-pemikirannya yang kental akan nuansa Ilahiyah. Bahkan Socrates mengakui bahwa dia pernah mendapatkan “bisikan” sejak dia masih kecil. Bisikan berupa suara yang di mana dengan bisikan suara tersebutlah dia berfilsafat. Socrates merasa memiliki tanggung jawab untuk melahirkan kebaikan, moral dan pengetahuan yang universal—Socrates menganggap dirinya sebagai bidan yang membantu orang untuk melahirkan kebenaran (pengetahuan).
Memastikan bahwa Socrates adalah nabi atau bukan tidaklah mudah. Perlu ada kajian yang sistematis. Mengingat jumlah nabi-nabi memang sangat banyak. Sejauh ini dak ada sumber dari kalangan-kalangan teolog yang mengklaim kenabian Socrates. Jadi, tidak ada kepastian di sini.
Sekurang-kurangnya kita dapat melacak nuansa sufistik dalam pemikiran Socrates. Secara posisi intelektual, Socrates sulit untuk ditempatkan pada posisi yang sama dengan Jalaludin Rumi, abu Yazid al-Busthomi, Abu Hamid al-Ghazali, Abu Junayd al Baghdadi, Rabi’ ah al Adawiyyah, Hasan al Bana dan sufi lainnya. Sebab Socrates bukan sufi.
Tapi sekurang-kurangnya Socrates telah menempuh cara hidup yang seperti itu. Di luar Islam sendiri memang terdapat banyak tokoh-tokoh yang menjalankan cara hidup yang cenderung asketik dan sudah berlangsung sejak lama. Namun yang membuatnya menarik adalah, cara hidup yang seperti itu dijalankan oleh seorang filsuf, sementara filsafat dipandang (kebanyakan) bertentangan dengan religiusitas (agama).
Beberapa Teks Tentang Pemikiran Socrates
Tasawuf merupakan konsep lanjutan dari ihsan. Bahwa keimanan kepada Allah tidak dapat diandaikan sebatas pada hal yang bersifat wujud (being ) dan material. Tasawuf menghendaki keimanan yang melampaui badaniyyah dan berfokus kepada rasa, hati dalam upaya untuk menyingkap tabir.
Untuk itu dalam tasawuf dikenal berbagai metode, tahapan, maqam, yang ditetapkan oleh pelaku-pelakunya dalam upaya “menyatu” dengan Tuhan. Socrates dengan pendekatan filsafatnya “juga” memanifestasikan cara hidup yang seperti ini. Bapak Dr. Fahrudin Faiz memberikan komentar bahwa tindak-tanduk Socrates itu sangat sufistik. Kunci hidup Socrates itu terletak pada keinginan melayani Tuhan dan tidak memiliki ketertarikan pada duniawi.
Pertama, Socrates menganggap bahwa apa yang dilakukannya di Athena (berfilsafat) atas dasar pengabdiannya kepada Tuhan. “…dan ketahuilah ini adalah perintah Tuhan; dan saya percaya bahwa tidak ada kebaikan yang lebih besar yang pernah terjadi di negara bagian selain pelayanan saya kepada Tuhan.” (Apologia, Platon; Socrates and Religion, Schaeffer, 2021).
Socrates berfilsafat tidak untuk mendapatkan kekayaan, kemewahan, kehormatan. Tidak juga untuk menjatuhkan lawan berpikirnya. Socrates sendiri menyebut dirinya adalah orang paling bodoh. Seorang yang tidak memiliki pengetahuan, makanya Socrates mendatangi siapa saja; pandai besi, pedagang, tentara, politisi, penyair, untuk bertanya-tanya.
Kedua, sebab orientasi Socrates adalah kebajikan tertinggi, eudoimonia, Ilahiyah , Socrates hidup secara zuhud. Socrates merupakan anti tesis terhadap kaum sofis di waktu itu. Dia berbuat, mengajarkan orang lain, memberikan pendidikan tanpa meminta upah sama sekali. Socrates tidak segan menyindir kaum sofis, “…apakah Anda tidak malu menimbun uang dan kehormatan dan reputasi terbesar, dan begitu sedikit memedulikan kebijaksanaan dan kebenaran dan peningkatan jiwa terbesar, yang tidak pernah Anda hargai sama sekali?.” (Apologia, Platon; Socrates and Religion, Schaeffer, 2021)
Bahkan Socrates begitu berbahagia dalam menyambut kematiannya. Persaksian ini diberikan oleh murid-muridnya yang turut hadir dalam pengadilan Socrates. Salah seorang muridnya, Phaedon, mengatakan “….raut wajahnya dan bahasanya begitu mulia dan tanpa rasa takut pada saat kematian, sehingga aku merasa dia diberkati..”.
Socrates memiliki pilihan: mengakui kesalahannya dan meninggalkan Athena atau meminum racun. Dia memilih meminum racun, karena dia yakin dia tidak salah. “Sekarang saatnya untuk pergi, aku yang mati dan kalian yang hidup. Namun siapa yang di antara kita yang pergi ke tempat yang lebih baik, tidak ada yang tahu, kecuali Tuhan sendiri.” (Apologia, Platon; Ngaji Filsafat, Dr. Fahruddin Faiz, 25 Januari 2023).
Barang kali—seperti bagian yang paling ditekankan dalam tasawwuf—hidup dengan prinsip melayani Tuhan dan melepaskan diri dari ketertarikan terhadap dunia adalah prinsip hidup yang paling baik. Dan ini telah dibuktikan oleh para sufi, bijak bestari, filsuf, ahli ibadah, dan orang-orang shaleh.
Desain Rumah Kabin
Rumah Kabin Kontena
Harga Rumah Kabin
Kos Rumah Kontena
Rumah Kabin 2 Tingkat
Rumah Kabin Panas
Rumah Kabin Murah
Sewa Rumah Kabin
Heavy Duty Cabin
Light Duty Cabin
Source link