BincangSyariah.Com– Bagaimana hukum khitan perempuan menurut Islam? Pasalnya, ada yang menilai bahwa khitan bagi wanita tidaklah wajib. Benarkah demikian?
Perlu diketahui bahwa pembahasan tentang sunat bagi wanita sebenarnya bukanlah permasalahan baru yang membutuhkan jawaban qiyas (analogi), melainkan sudah dibahas sejak dahulu oleh para ulama. Bahkan, Rasulullah dalam beberapa hadits telah memberikan arahan dan ketentuan perihal hukum tersebut, di antaranya:
أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تَخْتِنُ بِالْمَدِينَةِ فَقَالَ لَهَا النَّبِىُّ: لاَ تُنْهِكِى فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى الْبَعْلِ
“Sungguh terdapat seorang wanita yang sunat di Madinah, kemudian Nabi Muhammad berkata kepadanya: ‘Jangan kau rusak (kelaminnya), karena hal itu merupakan kehormatan bagi perempuan’.” (HR. Abu Daud).
Syekh Abu Thayyib Syamsu al-Haq menjelaskan maksud hadits tersebut, bahwa sunat lebih bermanfaat bagi wanita, karena bisa mengurangi syahwatnya yang tingga, serta lebih menyenangkan dan menggairahkan ketika berhubungan badan (suami-istri). (Syekh Abu Thayyib, ‘Aunu al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, [Beirut, DKI: 1415 H], juz XIV, halaman 125).
Lantas, bagaimana sebenarnya hukum khitan bagi perempuan?
Syekh Nawawi Banten, dalam salah satu kitabnya mengatakan bahwa hukum sunat adalah wajib, baik bagi laki-laki maupun perempuan, dan wajib untuk menyegerakan sunat bagi keduanya ketika sudah baligh atau sudah mempunyai akal.
Jika tidak dikhawatirkan akan berdampak bahaya, dan jika khawatir, maka harus ditunggu sampai tidak dikhawatirkan kembali. Berikut penjelasnanya;
(ووجب ختان) لذكر وأنثى إن لم يولدا مختونين (ببلوغ) وعقل لانتفاء التكليف قبلهما فيجب ذلك فورا بعدهما ما لم يخف من الختان في ذلك الزمن وإلا أخر إلى أن يغلب الظن السلامة
“Wajib sunat bagi laki-laki dan perempuan jika tidak dilahirkan dalam keadaan sunat. Kewajiban itu apabila sudah baligh dan mempunyai akal. Sebab tanpa keduanya, seseorang tidak memiliki kewajiban sebelumnya.
Oleh karena itu, wajib sunat dengan segera jika sudah baligh dan punya akal, apabila tidak dikhawatirkan (bahaya) dengan sunat tersebut. Jika khawatir, maka akhirkan hingga memiliki prasangka akan keselamatan.” (Syekh Nawawi, Nihayatu az-Zain, [Beirut, Darul Fikr: tt], halaman 358).
Penjelasan di atas merupakan pendapat mayoritas mazhab Syafi’iyah, yang mengatakan bahwa sunat bagi laki-laki dan wanita adalah wajib. Selain itu, dalam mazhab lain terdapat pendapat yang tidak mewajibkannya, sebagaimana yang ditampilkan oleh Syekh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya, ia mengatakan:
“Sunat sunnah hukumnya bagi laki-laki dan dimuliakan (tidak wajib-mukarramah) bagi wanita, menurut mazhab Hanafiyah dan Malikiyah.” (Syekh Wahbah, al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz I, halaman 405).
Pendapat tersebut juga senada dengan keputusan Majelis Ulama Indonesia tahun 2008, yang menegaskan bahwa sunat bagi wanita bukanlah suatu kewajiban, bahkan tidak boleh jika bisa menimbulkan bahaya kepadanya.
“MUI 2008 memandang bahwa hukum sunat perempuan sebagai bagian syi’ar Islam, yang tidak boleh kita larang, tetapi juga tidak wajib dilakukan. Jika pun terpaksa ada yang melakukan, harus dengan syarat ketat tidak menimbulkan dharar (dampak buruk atau rusak), tidak memotong atau melukai klitoris, hanya menghilangkan sedikit saja selaput yang menutup klitoris.” (M. Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa MUI tentang Khitan Perempuan, Jurnal Ahkam: Vol XII, No. 2, Juli 2012, halaman 35-46).
Terkait
Desain Rumah Kabin
Rumah Kabin Kontena
Harga Rumah Kabin
Kos Rumah Kontena
Rumah Kabin 2 Tingkat
Rumah Kabin Panas
Rumah Kabin Murah
Sewa Rumah Kabin
Heavy Duty Cabin
Light Duty Cabin
Source link