Pengaruh Kepercayaan Majusi bagi Bangsa Arab
Pengaruh kebudayaan Persia yang cukup menonjol di kawasan Jazirah Arab ialah kepercayaan Magi (Majusi). Kepercayaan ini dibawa oleh para pedagang Persia dan lambat-laun mempengaruhi pola pikir bangsa Arab.
Ada benarnya teori yang menyatakan bahwa setiap bangsa yang berkuasa akan dianggap oleh bangsa lain memiliki kebudayaan yang jauh lebih tinggi. Demikian halnya sikap bangsa Arab pada umumnya. Karena bangsa Persia adalah bangsa kuat yang menjadi penguasa Adidaya pada masa menjelang kedatangan Islam, mereka pun banyak terpengaruh oleh kebudayaan ini.
Sebenarnya, di kalangan suku-suku Arab, khususnya di kawasan Hijaz, sudah berkembang kepercayaan pagan ala baduwi. Lewat “gerakan baru” yang dipelopori oleh ‘Amr bin Luayy (250 M), suku-suku Arab mengenal model penyembahan kepada berhala-berhala yang terbuat dari bagian tertentu dari bangunan Ka’bah.
Tampaknya, garakan baru yang dipelopori oleh ‘Amr bin Luayy turut menentukan bagi corak keberagamaan dan kebudayaan bangsa Arab selain lewat proses akulturasi budaya dengan orang-orang Persia. Justru lewat persinggungan dengan kebudayaan Persia, kepercayaan paganisme di jazirah Arab makin kokoh. Doktrin-doktrin Zoroastrianisme, terutama konsep dalam memahami keberadaan Tuhan, juga amat berpengaruh di Jazirah Arab.
Pada saat yang bersamaan, perkembangan agama Abrahamik, yaitu kepercayaan yang dianut oleh bangsa Yahudi, juga banyak terpengaruh oleh unsur-unsur Paganisme dari Persia. Ketika terjadi perdebatan sengit di antara para rahib Yahudi pasca pembuangan di Babilonia, mereka berselisih pendapat tentang otentisitas ajaran nenek moyang mereka.
Di satu sisi sebagian bangsa Yahudi menghendaki kembali kepada ajaran nenek moyang secara murni (monoteisme). Tetapi sebagian bangsawan dan para rahib menghendaki perubahan-perubahan secara mendasar dalam konstruksi teologi mereka. Unsure-unsur Paganisme dari Persia banyak mewarnai ajaran-ajaran teologi Yahudi pasca pembuangan ini.
Perselisihan pendapat di kalangan Yahudi terus berlanjut. Sebagian kalangan menghendaki pembaruan keagamaan, tetapi sebagian menghendaki kembali kepada khittah ajaran nenek moyang yang murni. Dari perselisihan tersebut kemudian melahirkan sekte baru di tubuh kaum Yahudi. Sekte Al-Farisi lahir sebagai bentuk kompromi antara ajaran murni Yahudi dengan unsur-unsur kepercayaan Paganisme Persia.
Dari sekte inilah nantinya lahir pandangan-pandangan keagamaan baru yang kemudian melahirkan produk kitab Talmud. Sebuah kitab suci yang berisi interpretasi terhadap ajaran-ajaran Nabi Musa as. oleh para rahib Yahudi dengan perspektif baru. Perkembangan pemahaman teologis bangsa Yahudi makin paganistik ketika mereka menganggap Ezra sebagai “Anak Tuhan” (‘Uzair ibn Allah) (Qs. At-Taubah/9: 30).
Pembaruan keagamaan Yahudi pasca pembuangan di Babilonia lebih menjurus kepada sinkretisme. Mungkin karena pengaruh politik rezim Achameneids yang telah berjasa kepada bangsa Yahudi mengakibatkan banyak rahib yang condong kepada kepercayaan paganisme Persia. Atau, bisa jadi para bangsawan Yahudi bersikap oportunistik mengorbankan ajaran-ajaran Yahudi yang otentik ditukar dengan kepercayaan pagan.
Sebagian dari kalangan Yahudi pasca pembuangan di Babilonia menghendaki gerakan khittah. Mereka makin puritan dan menempuh hidup asketik. Sekelompok Yahudi mengasingkan diri di tepi Laut Mati untuk mengamalkan ajaran-ajaran nenek moyang mereka secara otentik.
Mereka menolak dan mengritik gerakan para rahib dari kelompok pembaru spiritual (Sekte Al-Farisi) yang telah mencampur-aduk ajaran-ajaran Yahudi dengan paganisme Persia. Kelompok ini disinyalir dipimpin oleh Yahya, putra Nabi Zakariya, pada sekitar Abad Kelima Sebelum Masehi.
Ekspansi militer bangsa Persia yang berhasil menaklukkan beberapa kawasan di Jazirah Arab telah mempercepat proses akulturasi antara dua kebudayaan. Sekalipun tanah Hijaz sendiri tidak pernah tersentuh oleh kekuatan militer dua imperium global pada waktu itu, tetapi lewat kerajaan-kerajaan satelit di sekitar kawasan ini menjadi agen kebudayaan Persia dan Romawi Timur.
Sebuah kerajaan kecil di Makkah yang menjadi “negara bonek” imperium Persia ialah Kerajaan Lakhmid. Kerajaan yang berpusat di kota Hira ini pada pertama kali berdiri menjadi agen kebudayaan Persia. Akan tetapi, setelah melewati beberapa generasi, kerajaan Lakhmid menjadi agen kebudayaan Bizantium.
Kerajaan Lakhmid terletak di tepi sungai Furat (Euphrate), di antara Najaf dan Kufah. Kerajaan ini muncul pertama kali pada Abad Ketiga Masehi. Lahirnya kerajaan ini murni atas dasar kepentingan imperium Persia, terutama untuk mengamankan jalur perdagangan mereka di Jazirah Arab.
Raja pertama Kerajaan Lakhmid ialah ‘Amr bin Adiyy (268 M). Dia adalah putra Rabi’ah bin Amr, raja Yaman dari Dinasti Tubba’. Amr bin Adiyy berafiliasi polotik ke Persia (Sassanids), tetapi raja generasi terakhir kerajaan ini, Al-Mundzir bin An-Nu’man (632 M), berafiliasi politik ke Bizantium. Sebab, Al-Mundzir bin An-Nu’man sendiri telah memeluk agama Nasrani (Albert Hourani, 2004: 55).
Selain Kerajaan Lakhmid, Dinasti Tubba’ di Yaman dan beberapa generasi Dinasti Himyar I juga termasuk dalam pengaruh politik Imperium Persia (Sassanids). Dinasti Tubba’ adalah generasi penerus Kerajaan Saba’ pasca bobolnya Bendungan Ma’rib (Sadd Al-Ma’rib) yang amat terkenal itu. Bendungan yang menjadi simbol kejayaan bangsa Arab di Kawasan Felix ini jebol pada tahun 120 SM. Peradaban Ma’rib pernah mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1000 SM ketika seorang wanita menjadi ratu di negeri ini (Ratu Balqis).
Beberapa generasi awal kerajaan ini memang berafiliasi politik ke Persia, tetapi setelah bangsa Yaman mengenal ajaran yang dibawa oleh Faimiyun (wafat 521 M), murid Nabi Isa Al-Masih yang pertama kali mengajarkan agama Nasrani di negeri ini, mereka berafiliasi politik ke Bizantium, yang secara legal mengakui keberadaan ajaran ini dan melindungi para pengikutnya.
Keberadaan kerajaan-kerajaan satelit ini semakin mengokohkan kekuasaan peradaban Persia di kawasan Jazirah Arab. Tidak dapat dipungkiri, peradaban Persia amat mendominasi kebudayaan bangsa Arab pada Zaman Aksial, khususnya pada masa menjelang kedatangan Islam.
Selain itu, terdapat pula Kerajaan Kindah (Suku Kindah) di Yaman yang berdiri pada sekitar Abad Ke-5 Masehi. Raja pertama kerajaan ini adalah Hujr bin ‘Amr. Secara politik, kerajaan ini di bawah kendali Dinasti Himyar II di Yaman. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kerajaan-kerajaan ini menjadi agen-agen kebudayaan Persia di jazirah Arab. (Bersambung)
***
*)Tulisan ini merupakan seri kesembilan dari serial Fikih Peradaban Islam Berkemajuan yang ditulis oleh sejarawan Muhammadiyah, Muarif.
Seri 1 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Ikhtiar Menulis Sejarah Pendekatan Budaya
Seri 2 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Alquran, Wahyu yang Menyejarah
Seri 3 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Kisah dalam Alquran: Tujuan dan Ragam Qashash
Seri 4 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Khalifatullah fil Ardh: Manusia sebagai Aktor Peradaban
Seri 5 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Ras Merupakan Kekeliruan Besar: Sanggahan Atas Teori Ras
Seri 6 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Evolusi Kebudayaan: Tidak Ada Bangsa Pilihan
Seri 7 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Relasi Kebudayaan dan Kekuasaan
Seri 8 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Pengaruh Kebudayaan Persia di Timur Tengah
Editor: Yusuf
Desain Rumah Kabin
Rumah Kabin Kontena
Harga Rumah Kabin
Kos Rumah Kontena
Rumah Kabin 2 Tingkat
Rumah Kabin Panas
Rumah Kabin Murah
Sewa Rumah Kabin
Heavy Duty Cabin
Light Duty Cabin
Source link