‘Ariyyah itu adalah kita meminjam suatu barang yang bisa diambil manfaat dari seseorang. Bagaimana ketentuan syariat mengenai ‘ariyyah (peminjaman barang)?
Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matn Taqrib berkata:
وَ كُلُّ مَا يُمْكِنُ الاِنْتِفَاعُ بِهِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ جَازَتْ إِعَارَتُهُ إِذَا كَانَتْ مَنَافِعُهُ آثَاراً وَتَجُوزُ العَارِيَّةُ مُطْلَقَةً وَمُقَيَّدَةً بِمُدَّةٍ وَ هِيَ مَضْمُوْنَةٌ عَلَى المُسْتَعِيْرِ بِقِيْمَتِهَا يَوْمَ تَلَفِهَا.
Semua barang yang bisa dimanfaatkan tanpa merusaknya boleh dipinjamkan kepada orang lain jika manfaatnya merupakan pengaruh dari barang itu. Boleh meminjam secara bebas atau terikat dengan waktu tertentu. Orang yang meminjam bertanggung jawab terhadap harga barang yang dipinjam jika rusak.
Penjelasan:
Secara bahasa, al-‘ariyyatu adalah sesuatu yang dibawa pergi. Secara istilah syari, ‘ariyyah adalah pembolehan pemanfaatan dari ahli tabarru’ (yang memberikan pinjaman secara cuma-cuma, tujuannya menolong) pada sesuatu yang boleh dipinjamkan di mana bentuk yang dipinjamkan itu tetap, lalu dikembalikan lagi pada orang yang meminjamkan.
Dalil yang mendukung perihal ‘ariyyah adalah firman Allah Ta’ala,
وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al-Maidah: 2)
Dalil lainnya dari hadits adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminjam kuda dari Abu Thalhah lantas beliau menaikinya, lalu beliau juga meminjam baju besi (dir’un) dari Shafwan bin Umayyah pada perang Hunain, lantas ia mengatakan, “Apakah ini merampas ataukah meminjam, wahai Muhammad?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
بَلْ عَارِيَّةٌ مَضْمُوْنَةٌ
“Bahkan ini adalah pinjaman yang dijamin kembali.” (HR. Abu Daud, no. 3562. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Rukun ‘ariyyah
1. Mu’iir (al-maalik), yang memiliki barang.
2. Musta’iir (al-muntafi’ bil ‘ain al-mu’aaroh), yang meminjam barang.
3. Mu’aar (al-a’in), barang yang dipinjam.
4. Shighah, adanya ijab qabul.
Syarat al-mu’iir
1. Al-ikhtiyaar, atas pilihan sendiri, maka tidak sah jika dipaksa.
2. Sah melakukan tabarru’, sah dalam melakukan akad tolong menolong. Orang gila dan anak kecil tidak sah melakukan transaksi ‘ariyyah.
3. Pemilik barang yang akan dipinjamkan dan diambil manfaat.
Catatan: Yang meminjam barang tidak sah meminjamkan barang itu kepada yang lain kecuali dengan izin yang punya barang.
Syarat al-musta’iir
1. At-ta’yiin, ditentukan siapa yang meminjam barang.
2. Ithlaq tasharruf, orangnya yang diizinkan syariat memanfaatkan barang. Sehingga anak kecil atau orang gila tidak sah meminjam barang kecuali ada walinya yang melakukan akad.
Syarah al-mu’aar
1. Barangnya bisa diambil manfaat. Sehingga keledai kecil tidak dibolehkan dipakai untuk memikul barang di luar dari kemampuannya.
2. Barangnya mubah. Sehingga barang yang haram seperti babi atau khamar tidak sah untuk dipinjamkan.
3. Manfaatnya tertentu.
4. Barang yang dipinjamkan tetap ada bentuknya. Maka meminjam sabun untuk mandi tidak masuk dalam istilah ‘ariyyah, tetapi disebut meminta sabun.
Syarat shighah
Lafaz yang digunakan adalah lafaz yang menunjukkan izin pemanfaatan barang yang dipinjamkan.
Catatan
1. Cukup lafaz dari satu pihak, lantas yang lain memanfaatkan tanpa ada lafaz.
2. ‘Ariyyah boleh tanpa batasan waktu, boleh juga dengan batasan waktu tertentu.
3. ‘Ariyyah adalah akad jaiz (boleh) sehingga boleh dibatalkan oleh salah satu pihak walaupun waktu peminjaman dibatasi.
4. Barang yang dipinjamkan menjadi jaminan dari orang yang meminjam. Jika rusak karena dipakai dalam hal yang tidak diizinkan, maka harus ada ganti rugi. Semisal, keledai dipinjam untuk ditunggai, malah dinaikkan besi sebagai beban, lantas keledainya mati, maka mesti ada ganti rugi. Namun, jika ditunggangi saja lantas keledai tadi mati, maka tidak perlu ada ganti rugi.
5. Ganti rugi barang yang dipinjam adalah sesuai dengan harga barang pada hari barang tersebut rusak, bukan harga saat hari peminjaman.
6. Peminjaman (‘ariyyah) dengan: (a) dikembalikannya barang atau pembatalan salah satu pihak, (b) matinya orang yang meminjamkan atau gila, kena hajr (boikot), atau lepas ahliyah tabarru’ (tidak diizinkan melakukan transaksi), (c) matinya orang yang meminjam, maka hendaklah ahli waris mengembalikan barang yang telah dipinjam.
Baca juga:
Referensi:
Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar.
–
Ditulis 27 Rajab 1444 H di Ponpes Darush Sholihin
@ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul
Artikel Rumaysho.Com
(function(d, s, id){
var js, fjs = d.getElementsByTagName(s)[0];
if (d.getElementById(id)) return;
js = d.createElement(s); js.id = id;
js.src = “//connect.facebook.net/en_US/sdk.js#xfbml=1&version=v3.2”;
fjs.parentNode.insertBefore(js, fjs);
}(document, ‘script’, ‘facebook-jssdk’));
Desain Rumah Kabin
Rumah Kabin Kontena
Harga Rumah Kabin
Kos Rumah Kontena
Rumah Kabin 2 Tingkat
Rumah Kabin Panas
Rumah Kabin Murah
Sewa Rumah Kabin
Heavy Duty Cabin
Light Duty Cabin
Source link