Kepada Redaksi islami.co
Ini pertanyaan yang tidak mengada-ada, tapi berdasarkan pengalaman pribadi atau semoga juga related dengan orang lain sehingga bisa menjadi pengetahuan bersama.
Pertama, bagaimana soal hukum meng-qada’ sholat? Misal, kita sedang di perjalanan yang dalam keadaan macet, entah itu di kota besar atau di tol.
Dari sisi jarak, total perjalanan belum sampai ukuran 80 km. Anggaplah hanya 7 s/d 10 km. Kita berangkat jam 17.00. Tapi macet parah.
Tiba di tempat, pukul 19.00 lebih. Sebaiknya apa yang dilakukan? Apakah harus sholat di mobil atau meng-qada’ sholat?
Kedua, dalam beberapa acara kadang panitia tidak peduli dengan waktu. Katakanlah saya diundang sebagai pembicara.
Waktunya mutlak seperti yang ditentukan panitia. Dimulai sebelum Magrib, selesai setelah Isya’. Mau menghentikan acara kok bukan wewenang kita, tapi mau menerima begitu saja kok ya melanggar waktu sholat. Apakah sejenis rapat atau acara semacam itu bisa masuk dalam uzur melakukan sholat?
Ketiga, dulu, saya tahunya sholat itu baiknya berjamaah. Tapi sholat sendirian juga tidak apa-apa.
Hanya saja sekarang ini, banyak ulama bilang sholat berjamaah itu hukumnya wajib bagi laki-laki, dan harus dilakukan di masjid. Saya minta penjelasan fikihnya bagaimana?
Maturnuwun sanget.
Puthut EA, Kepala Suku Mojok.co
Jawab
Dear Mas Puthut, semoga selalu dalam keadaan sehat wal afiyat…
Menegakkan shalat lima waktu memang menjadi prioritas bagi seorang Muslim.
Hanya saja, pelaksanaan ibadah shalat dalam kehidupan sehari-hari ternyata tidak selalu mulus, wa bil khusus bagi umat Muslim kelas pekerja.
Terkadang situasi di lapangan bisa mengkhianati niat baik kita untuk bersembahyang kepada Allah SWT. Shalat, dengan demikian, bisa menjadi sesuatu yang heroik.
Pada dasarnya, hukum qadha’ (mengganti) itu berlaku jika seorang Muslim meninggalkan shalat, entah secara sengaja, terpaksa, lupa, atau apapun itu. Tata cara qadha’ shalat bisa dibaca di sini.
Meskipun demikian, sebetulnya ada alternatif lain jika kasusnya adalah terjebak macet atau karena suatu halangan yang sangat mendesak.
Maksudnya begini. Seseorang boleh menjamak (menggabung) sembahyang tersebut sesuai dengan ketentuan di fikih, seperti: Zuhur digabung dengan Ashar, dan Magrib dengan Isya.
Lalu, “bolehkah menjamak sembahyang karena kemacetan lalu lintas?”
Menurut hemat kami, jawabnya adalah “boleh”, sejauh itu bersifat insidental alias bukan menjadi habit.
Rasulullah SAW pun dalam keadaan segar-bugar, pernah menjamak sembahyang di Madinah tanpa alasan-alasan berat.
Keterangan itu tertuang dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin.
لنا قول بجواز الجمع في السفر القصير اختاره البندنيجي وظاهرالحديث جوازه ولو في حضر كما في شرح مسلم وحكى الخطابي عن أبي اسحق جوازه في الحضر للحاجة وان لم يكن خوف ولامطر ولامرض وبه قال ابن المنذر.
“Kami mempunyai pendapat yang membolehkan jamak bagi seseorang yang tengah menempuh perjalanan singkat yang telah dipilih oleh Syekh Albandaniji. Sebuah hadits mengungkapkannya dengan jelas, walaupun jamak dilakukan oleh hadirin (bukan musafir) seperti tercantum dalam Syarah Muslim. Dari Abu Ishak, Alkhatthabi menceritakan kebolehan jamak dalam perjalanan singkat karena suatu hajat. Hal ini boleh saja meskipun bukan dalam kondisi terganggunya keamanan, hujan lebat, dan sakit. Ibnul Munzir pun memegang pendapat ini.”
Senafas dengan itu, terdapat keterangan lain yang bersumber pada Ibn Abbas, seorang sahabat Nabi Muhammad yang terkenal pintar ilmu agama.
Ini berkaitan dengan sebuah hadis yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah menjamak sembahyang Dzuhur dengan Asar, dan Magrib dengan Isya, sedangkan Beliau SAW tidak dalam kondisi terganggu keamanannya maupun karena hujan lebat.
Seorang sahabat bernama Said bin Jubair pun bertanya, “mengapa Rasulullah SAW melakukannya?”
Ibnu Abbas menanggapi, “Rasulullah SAW tidak mau merepotkan umatnya. Karena itu, Beliau melakukannya tanpa sebab sakit atau alasan lain.”
Berdasar keterangan di atas, menggabung (jamak) shalat merupakan alternatif yang disarankan daripada mengqadha shalat.
Bahkan, ini juga bisa berlaku bagi sepasang pengantin baru, misalnya, yang sedang menjalani walimatul arusy dan selalu menerima tamu.
Juga, termasuk dalam hal ini adalah ketika kita hendak menghadiri undangan suatu acara, atau rapat yang secara durasi menerabas ketentuan shalat lima waktu.
Keterangan itu termaktub dalam Syarah Muslim lin Nawawi.
وذهب جماعة من الأئمة الى جواز الجمع فى الحاضر للحاجة لمن لا يتخذه عادة وهو قول ابن سيرين وأشهب من أصحاب مالك وحكاه الخطابي عن القفال والشاشى الكبير من أصحاب الشافعى عن أبى إسحاق المروزى عن جماعة من أصحاب الحديث واختاره ابن المنذر
“Sejumlah imam berpendapat tentang diperbolehkannya menjamak shalat di rumah karena ada keperluan bagi orang yang tidak menjadikannya sebagai kebiasaan. Ini merupakan pendapat Ibnu Sirrin, Asyhab (pengikut Imam Malik), al-Qaffal, As-Syasyi al-Kabir (dari kalangan as-Syafi’I), dan Abu Ishaq al-Marwazi dari kalangan ahlul hadits, sebagaimana dipilih oleh Ibnu Mundzir.”
Shalat Berjamaah Bagi Laki-Laki Muslim
Banyak pandangan yang berkembang di kalangan ulama tentang hukum shalat berjamaah. Beberapa di antaranya menyatakan bahwa shalat berjamaah adalah fardhu `ain, sehingga orang yang tidak mengikutinya akan berdosa.
Yang berpendapat demikian adalah Atho` bin Abi Rabah, Al-Auza`i, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaemah, Ibnu Hibban, dan umumnya ulama Hanafiyah dan mazhab Hanabilah.
Dalilnya adalah hadis berikut:
Dari Abi Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya shalat yang paling berat buat orang munafik adalah shalat Isya dan Shubuh. Seandainya mereka tahu apa yang akan mereka dapat dari kedua shalat itu, pastilah mereka akan mendatanginya meski dengan merangkak. Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api.” (HR Bukhari & Muslim).
Dari hadis yang sama, beberapa ulama berpendapat bahwa hukum sembahyang fardhu berjamaah adalah syarat sahnya shalat. Dengan kata lain, shalat fardhu lima waktu itu tidak sah kalau tidak dikerjakan dengan berjamaah.
Yang berpendapat seperti itu, antara lain, adalah Ibnu Taymiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim. Juga, Ibnu Aqil dan Ibnu Abi Musa serta mazhab Zhahiriyah memiliki pendapat serupa. Termasuk di antaranya adalah para ahli hadits, Abul Hasan At-Tamimi, Abu Al-Barakat dari kalangan Al-Hanabilah serta Ibnu Khuzaemah.
Meskipun demikian, jumhur ulama berpendapat bahwa shalat berjamaah lima waktu itu hukumnya adalah Fardhu Kifayah. Artinya, peristiwa shalat fardhu lima waktu berjamaah hanya berlaku secara keterwakilan dalam suatu distrik atau daerah.
Selebihnya, mereka yang berhalangan untuk mengikuti shalat berjamaah tidak akan terkena dosa. Keterangan ini merujuk pada Imam Syafi`i dan Imam Abu Hanifah, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Habirah dalam Al-Ifshah.
Adapun dalil yang menjadi landasannya adalah:
Dari Abi Darda` ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah 3 orang yang tinggal di suatu kampung atau pelosok tapi tidak melakukan shalat jamaah, kecuali syetan telah menguasai mereka. Hendaklah kalian berjamaah, sebab srigala itu memakan domba yang lepas dari kawanannya.” (HR Abu Daud dan Nasai dengan sanad yang hasan)
Lalu,
Dari Malik bin Al-Huwairits bahwa Rasulullah SAW, `Kembalilah kalian kepada keluarga kalian dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka shalat dan perintahkan mereka melakukannya. Bila waktu shalat tiba, maka hendaklah salah seorang kalian melantunkan azan dan yang paling tua menjadi imam.(HR Muslim).
Dan,
Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat sendirian dengan 27 derajat. (HR Muslim)
Al-Khatthabi dalam kitab Ma`alimus-Sunan menerangkan bahwa kebanyakan ulama pengikut Imam Syafi`i juga meyakini bahwa shalat berjamaah itu hukumnya fardhu kifayah, representatif.
Lebih dari itu, ternyata ada pula ulama yang menganggap hukum berjamaah dalam shalat fardhu sebagai sunnah muakkadah, atau anjuran yang perlu diprioritaskan.
Pendapat ini didukung oleh mazhab Hanafi dan Malikiyah sebagaimana disebutkan oleh Imam As-Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar. Katanya, pendapat yang paling tengah dalam masalah hukum shalat berjamaah adalah sunnah muakkadah.
Hal senada juga menjadi concern Ibnul Jauzzi dalam Qawanin Al-Ahkam As-Syar`iyah. Menurutnya, shalat fardhu yang dilakukan secara berjamaah itu hukumnya sunnah muakkadah, atau “sangat dianjurkan”.
Adapun dalilnya adalah, begini:
Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat sendirian dengan 27 derajat.” (H.R. Muslim)
Ash-Shan`ani dalam kitab Subulus-Salam menyebutkan bahwa hadis tersebut merupakan dalil “berjamaah” sebagai perkara yang tidak wajib dalam shalat fardhu.
Selain itu, dalam kitab Fathul Bari juga terdapat hadis yang bisa menjadi dalil kesunah-muakkadan shalat berjamaah.
Dari Abi Musa ra, Rasulullah SAW bersabda,”`Sesungguhnya orang yang mendapatkan ganjaran paling besar adalah orang yang paling jauh berjalannya. Orang yang menunggu shalat jamaah bersama imam lebih besar pahalanya dari orang yang shalat sendirian kemudian tidur.
Akhir kalam, setiap orang pada dasarnya memiliki kebebasan untuk memilih sudut pandang yang menurut mereka tidak memberatkan. Ini selaras dengan fungsi utama syariat Islam yang “memudahkan, alih-alih menyusahkan”.
Dan, apabila harus membuat sebuah pilihan, kami tetap menyarankan untuk memilih sudut pandang yang menyatakan bahwa shalat berjamaah adalah sunnah muakkadah. Yang demikian itu karena lebih mudah bagi mayoritas umat Islam dan juga didukung oleh dalil yang kuat.
Walaupun demikian, kami masih mendorong umat Islam secara umum untuk senantiasa mempraktikkan shalat berjamaah, karena tidak ada perbedaan pendapat dalam “keutamaan shalat berjamaah.”
Wallahu a’lam [AK/HF]
Desain Rumah Kabin
Rumah Kabin Kontena
Harga Rumah Kabin
Kos Rumah Kontena
Rumah Kabin 2 Tingkat
Rumah Kabin Panas
Rumah Kabin Murah
Sewa Rumah Kabin
Heavy Duty Cabin
Light Duty Cabin
Source link