Ini Tata Cara Shalat di Kereta Api dan Transportasi Publik Lain yang Benar
Demi menjalankan suatu pekerjaan ataupun kepentingan, sebagian kalangan memilih alat transportasi publik seperti kereta api, bus, kapal, dan pesawat terbang.
Transportasi publik menjadi pilihan banyak orang, sebab selain harganya yang relatif murah, juga dapat diakses dengan mudah.
Meski begitu, sejumlah problematika muncul, misalnya ketika masuk waktu shalat. Sebagian penumpang masih kebingungan perihal teknis pelaksanaan shalat di kereta maupun transportasi publik, sesuai aturan fikih yang benar.
Kebanyakan di antara mereka melaksanakannya dengan cara duduk dan menggerak-gerakkan tubuhnya seolah dirinya sedang melakukan perpindahan rukun shalat yang dilakukannya.
Bahkan ada pula yang langsung berdiri melaksanakan shalat di tengah-tengah bis, kereta, atau pesawat meski notebenenya merupakan jalur umum yang dilalu-lalangi para penumpang.
Selain melakukan kedua praktek shalat tersebut, tak jarang ditemukan pula penumpang yang lebih memilih berniat untuk mengqadha shalat di rumahnya masing-masing.
Mereka beranggapan bahwa shalat di atas kendaraan cukup ribet dan kurang praktis.
Lantas bagaimanakah sikap yang tepat dan benar terkait tata cara pelaksanaan shalat yang sesuai dalam tinjauan fiqih saat menumpang kendaraan?
Kewajiban shalat tetap berlaku meskipun saat bepergian
Dalam Islam shalat merupakan ibadah serta kewajiban bagi seorang mukalaf yang tidak dapat gugur selama akalnya masihdianggap normal.
Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh pakarfiqih kenamaan asal Suriah Syekh Dr. Wahbah Az-Zuhaili (wafat2015 M) dalam ensiklopedi fiqihnya:
وَلاَ تَسْقُطُ الْصَّلاَةُ حِيْنَئِذٍ عَنِ الْمُكَلَّفِ، مَا دَامَ عَقْلُهُ ثَابِتًا، لِقُدْرَتِه ِعَلَى أَنْ يَنْوِيَ بِقَلْبِهِ، مَعَ الْإِيْمَاءِ بِطَرْفِهِ أَوْ بِدُوْنِهِ، وَلِعُمُوْمِ أَدِلَّةِ وُجُوْب ِالْصَّلاَةِ
Artinya: “Dan kewajiban shalat ini tidak bisa gugur dari seorang mukalaf. Selama akalnya masih tetap, sebab ia masih mampu untuk berniat dengan hatinya, bersamaan dengan memberikan isyarat dengan anggota tubuhnya atau selainnya. Dan juga karenakeumuman dalil wajibnya shalat.” (Wahbah bin Mustafa Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu [Damaskus: Dar Al-Fikr Al-Mu’ashir] Juz. II, halaman 830)
Oleh karenanya, tatkala dihadapkan pada kondisi apapun dan di manapun kewajiban melaksanakan shalat tetap berlaku. Tak terkecuali saat bepergian dengan jarak tempuh yang relatif jauh.
Tata cara pelaksanaan shalat dalam transportasi publik
Dalam literatur fiqih dijelaskan bahwa teknis pelaksanaan shalat dalam kendaraan adalah dengan melaksanakan rukun dan syarat shalat secara sempurna, seperti menghadap kiblat, ruku’, sujud dan lain-lain apabila mampu serta mungkin dilakukan.
Akan tetapi, jika tidak mampu maka ia boleh melaksanakan rukun dan syarat shalat semampunya meskipun dengan isyarat dalam rangka shalat li hurmatil wakti (shalat dalam rangka menghormati waktu). Ketetapan demikian selaras dengan pernyataan pemuka mazhabSyafi’i Imam An-Nawawi (wafat 676 H):
قَالَ أَصْحَابُنَا وَلَوْ حَضَرَتْ الصَّلاةُ الْمَكْتُوبَةُ وَهُمْ سَائِرُونَ وَخَافَ لَوْ نَزَلَ لِيُصَلِّيَهَا عَلَى الأَرْضِ إلَى الْقِبْلَةِ انْقِطَاعًا عَنْ رُفْقَتِهِ أَوْ خَافَ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ لَمْ يَجُزْ تَرْكُ الصَّلاةِ وَإِخْرَاجُهَا عَنْ وَقْتِهَا بَلْ يُصَلِّيهَا عَلَى الدَّابَّةِ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ وَتَجِبُ الإِعَادَةُ لأَنَّهُ عُذْرٌ نَادِرٌ
Artinya: “Ashab Syafi’i berkata: Apabila waktu pelaksanaan shalat fardhu telah tiba sedangkan musafir dalam kondisi perjalanan, dan dikhawatirkan jika turun untuk melakukan shalat dengan menghadap kiblat dapat tertinggal oleh rombongannya, atau khawatir terhadap dirinya maupun hartanya, maka dia tidak diperkenankan meninggalkan shalat dan shalat di luar waktunya. Bahkan, ia harus melaksanakan shalat diatas kendaraan li hurmatil waqti (shalat dalam rangka menghormati waktu) danwajib baginya untuk i’adah (mengulang kembali shalatnya) karena termasuk kategori uzur yang jarang terjadi.” (SyarafuddinYahya An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab [Beirut: Dar Al-Fikr] Juz. III, halaman 242)
Senada dengan pendapat An-Nawawi di atas, lebih spesifik perihal teknis pelaksanaan shalat di atas kendaraan, terdapat keterangan menarik yang di tuliskan oleh Al-Habib Hasan bin Ahmad Al-Kaff dalam kitabnya At-Taqrirat As-Sadidah Fi Al-Masail Al-Mufidah:
وَإِذَا كَانَ يُصَلِّي فِي سَفِيْنَةٍ أَوْ قِطَارٍ وَمِثْلُهُ الْهَوْدَجُ وَالْمَرْقَدُ وَنَحْوُ ذَلِكَ فَيَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُتِمَّ رُكُوْعَهُ وَسُجُوْدَهُ إِنْ سَهُلَ وَيَجِبُ عَلَيْهِ اِسْتِقْبَالُ الْقِبْلَةِ فِي جَمِيْعِ الصَّلَاةِ إِنْ سَهُلَ عَلَيْهِ كَذَلِكَ، وَإِلَّا فَلَا يَجِبُ، وَمِثْلُ ذَلِكَ الصَّلَاةُ فِي الطَّائِرَةِ، فَتَجُوْزُ مَعَ الصِّحَّةِ صَلَاةُ النَّفْلِ، وَأَمَّا صَلَاةُ الْفَرْضِ إِنْ تَعَيَّنَتْ عَلَيْهِ أَثْنَاءَ الرِّحْلَةِ وَكَانَتْ الرِّحْلَةُ طَوِيْلَةً،بِأَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ الصَّلَاةَ قَبْلَ صُعُوْدِهَا أَوْ انْطِلَاقِهَا أَوْبَعْدَ هُبُوْطِهَا فِي الْوَقْتِ، وَلَوْ تَقْدِيْمًا أَوْ تَأْخِيْرًا، فَفِيْ هَذَا الْحَالَةِ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُصَلِّيَ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ مَعَ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ. وَفِيْهَا حَالَتَانِ: 1 – إِنْ صَلَّى بِإِتْمَامِ الرُّكُوْعِ وَالسُّجُوْدِ: فَفِي وُجُوْبِ الْقَضَاءِ عَلَيْهِ خِلَافٌ، لِعَدَمِ اسْتِقْرَارِ الطَّائِرَةِ فِي الْأَرْضِ، وَالْمُعْتَمَدُ أَنَّ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ. 2 – وَإِنْ صَلَّى بِدُوْنِ إِتْمَامِ الرُّكُوْعِ وَالسُّجُوْدِ أَوْ بِدُوْنِ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ مَعَ الْإِتْمَامِ، فَيَجِبُ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ بِلَا خِلَافٍ
Artinya: “Apabila seseorang melaksanakan shalat di atas perahu, kereta api, begitupula tandu, kasur yang berada di atas hewan kendaraan dan sebagainya, maka ia wajib untuk menyempurnakan rukuk dan sujudnya, apabila mudah untuk dilakukan. Dan wajib baginya untuk menghadap kiblat dalam seluruh shalatnya, apabila mudah dilakukan, apabila tidak maka tidak wajib.
“Sama halnya dengan kasus di atas ialah shalat dalam pesawat, maka boleh dan sah melakukan shalat sunah. Adapun shalat fardhu, hanya bisa dilakukan di tengah perjalanan yang jauh, dengan gambaran tidak mampu melakukan shalat sebelum lepas landasnya pesawat (take off) atau setelah mendaratnya pesawat (landing) secara tepat waktu, meski dengan cara jama’ taqdim atau jama’ ta’khir.
“Dalam keadaan tersebut ia wajib melakukan shalat untuk menghormati waktu dengan tetap menghadap kiblat. Dalam hal ini, terdapat dua kondisi: Pertama, apabila ia shalat dengan menyempurnakan rukuk dan sujud, maka dalam hukum mengulangi shalatnya terdapat perbedaan pendapat dikarenakan pesawat tidak berpijak di atas bumi, menurut pendapat mu’tamad ia wajib mengqadha shalatnya.
“Kedua, bila ia shalat dengan tidak menyempurnakan rukuk maupun sujudnya, atau tidak menghadap kiblat namun menyempurnakan rukunnya, maka ia wajib untuk mengqadha shalatnya tanpa ada perbedaan pendapat.” (Hasan bin Ahmad Al-Kaff, At-Taqrirat As-Sadidah Fi Al-Masail Al-Mufidah [Surabaya: Dar Al-Ulum Al-Islamiyyah], halaman201)
Adapun mengenai kewajiban qadha shalatnya, terdapat perincian sebagai berikut: Apabila dapat menyempurnakan rukun dan syarat shalatnya, maka terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Versi pendapat mu’tamad ia wajib menqadha shalat tersebut. Sedangkan, jika tidak bisa melaksanakan syarat dan rukunnya secara sempurna seperti halnya tidak bisa menghadap kiblat dan selainnya, maka ulama sepakat wajib untuk mengqadha shalatnya:
مَنْ خَافَ مِنْ نُزُوْلِهِ مَشَقَّةً شَدِيْدَةً أَوْ فَوْتَ رُفْقَةٍ يَتَوَحَّشُ بِفَوْتِهَا صَلَّى الْفَرْضَ رَاكِبًا بِحَسَبِ حَالِهِ وَهَلْ يُعِيْدُ؟ فِي التُّحْفَةِ يُحْمَلُ الْقَوْلُ بِالْإِعَادَةِ عَلَى مَنْ لَمْ يَسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ أَوْ لَمْ يُتَمِّمْ الْأَرْكَانَ وَقَالَ م ر صَلَّى وَأَعَادَهُ
Artinya: “Orang yang khawatir kepayahan ketika turun dari kendaraan atau tertinggal dari rombongan (karena melakukan shalat terlebih dahulu sesuai syarat dan rukunnya) yang akan menyebabkannya berada dalam keresahan, maka ia shalat di dalam kendaraan semampunya. Apakah ia wajib mengulangi shalatnya atau tidak? Di dalam kitab At-Tuhfah redaksi ulama yang mengatakan ‘Wajib mengulangi shalat’ dipahami (kewajibantersebut) bagi seseorang yang shalat tidak menghadap kiblat atau tidak menyempurnakan rukun-rukunnya. Sedangkan Imam Ar-Ramli mengatakan: Ia melakukan shalat dan mengulangi shalat tersebut.” (Ali bin Ahmad Bashabirin, Ismid Al-Ainain Fi Ba’dlIkhtilaf As-Syaikhain [Surabaya: Al-Haramain], halaman 22)
Dari pelbagai ta’bir yang ditampilkan di atas dapat disimpulkan bahwa sikap yang tepat dan teknis pelaksanaan shalat di kereta atau transportasi publik lain yang sesuai dalam tinjauan fiqih ialah:
Jika mampu dan memungkinkan:
Maka tetap melaksanakan rukun dan syarat shalat secara sempurna, seperti menghadap kiblat, ruku’, sujud dan lain-lain.
Jika tidak mampu dan tidak memunginkan:
Diperkenankan untuk melaksanakan rukun dan syarat shalat semampunya meskipun hanya dengan isyarat, dalam rangka shalat li hurmatil waqti (shalat dalam rangka menghormati waktu shalat).
Menqadha shalatnya saat sampai
Jika tidak bisa melaksanakan syarat dan rukunnya secara sempurna seperti halnya tidak bisa menghadap kiblat dan selainnya, maka ulama sepakat wajib untuk mengqadha shalatnya.
Sedangkan apabila dapat menyempurnakan rukun dan syarat shalatnya, maka terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Namun menurut pendapat mu’tamad ia wajib menqadha shalat tersebut. (AN)
Wallahu ‘alam bisshawab.
Desain Rumah Kabin
Rumah Kabin Kontena
Harga Rumah Kabin
Kos Rumah Kontena
Rumah Kabin 2 Tingkat
Rumah Kabin Panas
Rumah Kabin Murah
Sewa Rumah Kabin
Heavy Duty Cabin
Light Duty Cabin
Source link